Senin, 19 Januari 2015

Stres dan Konlik dalam Management

Definisi Konflik Organisasi
   Gareth R. Jones mendefinisikan konflik organisasi sebagai “perbenturan yang muncul kala perilaku mencapai tujuan tertentu yang ditunjukan suatu kelompok dirintangi atau digagalkan oleh tujuan kelompok lain.”[1] Karena tujuan, pilihan, dan kepentingan kelompok-kelompok pemangku kepentingan (stake holder) di dalam organisasi berbeda maka konflik adalah suatu yang tidak terelakkan di setiap organisasi.

   Kendati konflik kerap dipandang negatif, sama halnya dengan politik, tetapi Jones beranggapan bahwa beberapa jenis konflik justru mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan efektivitas organisasi. Alasan Jones bahwa konflik punya kontribusi positif karena ia mengungkap kelemahan suatu organisasi sehingga membuka jalan dalam upaya mengatasinya. Dengan demikian, konflik membimbing pada proses pembelajaran dan perubahan organisasi.[2]

   M. Aflazur Rahim mendefinisikan konflik organisasi sebagai “proses interaktif yang termanifestasi dalam hal-hal seperti ketidakcocokan, ketidaksetujuan, atau kejanggalan baik di intra individu maupun inter entitas sosial seperti individu, kelompok, ataupun organisasi.[3] Rahim menyebut konflik sebagai proses interaktif bukan dengan maksud hendak membatasi kemungkinan konflik di dalam diri individu, karena seringkali seseorang mengalami konflik dengan dirinya sendiri.

   Kurt T. Dirks and Judi McLean Parks mendefinisikan konflik organisasi sebagai “... interaksi antarentitas yang saling bergantung, yang menganggap adanya pertentangan sasaran, niat, atau nilai, sehingga menganggap entitas lainnya sebagai penganggu potensial atas upaya mereka merealisasikan sasaran ini.”[4] Sehubungan dengan definisi ini, Dirks and Parks menyebutkan tiga konsep konflik yang muncul, yaitu: interaksi, kesalingtergantungan, dan sasaran yang tidak cocok. Mereka juga menggariskan entitas bukan orang, karena konflik kerap melibatkan tidak hanya orang tetapi juga kelompok, tim, divisi, departemen, dan organisasi-organisasi bisnis.

   Model Konflik

   Model Konflik organisasi

   Model berguna untuk menyederhanakan yang interaksi konsep yang rumit. Model didasarkan atas seperangkat konsep yang saling berjalin, atau dianggap saling berjalin, seputar suatu fenomena. Sebab itu, tidak cukup hanya satu model untuk menjelaskan peristiwa, termasuk dalam masalah konflik ini.

   Di dalam setiap model, untuk menjelaskan masalah konflik, digunakanlah teori. Teori yang digunakan untuk menjelaskan konflik pun tidak hanya satu melainkan banyak. Teori-teori yang memiliki kesamaan kemudian dikelompokkan ke dalam sebuah model. Model, sebab itu, merupakan pengelompokan sejumlah teori untuk menjelaskan suatu peristiwa.

   Louis A. Pondy menawarkan 3 buah model untuk menjelaskan konflik. Model-model tersebut adalah: (1) Model Bargaining; (2) Model Birokratik; dan (3) Model Sistem.[7] Ketiga model ini punya dimensi penjelasan dan teori-teori yang berbeda dalam menjelaskan konflik.

  Model Bargaining – Model ini didesain untuk menjelaskan konflik yang muncul akibat persaingan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam memperebutkan sumber daya yang langka. Model ini secara khusus menganalisis hubungan pekerja-manajemen, proses penyusunan penganggaran, dan konflik staf-pekerja.

Parameter utama guna mengukur konflik-konflik potensial diantara sejumlah kelompok kepentingan adalah dengan mengidentifikasi perbedaan antara tuntutan pihak yang bersaing dengan sumber daya yang tersedia. Resolusi konflik jenis ini adalah pengurangan tuntutan kelompok atau peningkatan sumber daya yang tersedia. Dalam konteks penyusunan anggaran, model ini menjelaskan bahwa konflik dipicu oleh persaingan antardepartemen dalam memperebutkan dana organisasi.

  Model Birokratik – Model ini diterapkan guna menjelaskan konflik atasan-bawahan atau, secara umum, konflik di sepanjang garis vertikal dalam hirarki organisasi. Model ini utamanya bicara seputar masalah yang muncul akibat upaya lembaga untuk mengendalikan perilaku dan reaksi pihak-pihak yang dikendalikan tersebut atas organisasi.

  Konflik vertikal biasanya muncul akibat atasan berusaha mengendalikan perilaku bawahan dan bawahan berupaya melawan kendali tersebut. Pola hubungan yang mengandung otoritas ditentukan lewat adanya seperangkat kegiatan bawahan di mana mereka (bawahan) harus mengalah pada legitimasi atasan untuk mengatur. Potensi konflik terjadi tatkala atasan dan bawahan punya harapan berbeda seputar wilayah unik (turf) masing-masing. Bawahan lebih suka menganggap konflik telah terjadi tatkala atasan berupaya menerapkan kendali atas kegiatan yang oleh bawah dianggap berada di luar kewenangan atasan. Di sisi lain, atasan menganggap konflik terjadi tatkala upayanya untuk mengendalikan tersebut mengalami perlawanan dari bawahan.

  Atasan cenderung memandang perlawanan bawahan sebagai wujud ketidaksukaan (dislike) mereka atas penerapan kekuasaannya secara pribadi. Dengan demikian, reaksi birokratis atas perlawanan bawahan merupakan substitusi (pengganti) aturan impersonal dengan kendali personal. Bawahan juga memandang upaya atasan mengatur sebagai pengurangan atas otonomi mereka. Ini terutama terjadi di dalam organisasi skala besar yang banyak melakukan delegasi wewenang. Kepentingan antara atasan dan bawahan menjadi sedemikian berbeda sehingga sasaran, kepentingan, atau klop-nya kebutuhan atasan-bawahan menjadi lebih sedikit kemungkinannya.

  Model Sistem – Model ini bicara tentang konflik lateral, atau konflik antar pihak yang punya fungsi berbeda. Analisis atas masalah koordinasi dibicarakan secara khusus oleh model ini. Konflik dalam model ini juga dapat terjadi antara orang dengan level hirarki yang sama.

  Jika model bargaining bicara tentang masalah persaingan, model birokratik bicara soal masalah kendali, maka model sistem bicara tentang masalah koordinasi. Misalnya, dua individu yang masing-masingnya bekerja pada posisi sama dalam organisasi dan memainkan peran formal yang juga sama, tatkala turun perintah untuk melakukan suatu pekerjaan, maka masing-masing cenderung menganggap bahwa pekerjaan tersebut merupakan bagian dari tugas dan wewenangnya, dan kala satu orang mengerjakan, orang lainnya menganggap sebagai pelanggaran atas turf -nya.

  Manajemen Konflik

  Jika konflik terjadi, apa yang kemudian dilakukan? Jawaban atas pertanyaan ini berujung pada pola manajemen konflik, khususnya seputar bagaimana sikap dari pihak yang berkonflik atas konflik yang terjadi. Taksonomi dua dimensi yang dikembangkan Thomas Ruble and Kenneth Thomas tahun 1976 relatif paling mudah dipahami.[15] Ruble and Thomas mengidentifikasi 5 jenis penanganan konflik yaitu: (1) Forcing; (2)Collaborating; (3) Compromising; (4) Avoiding; dan (5) Accomodating. Modelnya ada sebagai berikut:


Gambar 27 Kuadran Resolusi Konflik versi Rubl and Thomas 1976

Taksonomi penanganan konflik Ruble and Thomas terdiri atas garis x dan garis y. Garis x mewakili variabel Kerjasama (Cooperating) yaitu upaya memuaskan kepentingan orang lain. Garis y adalah variabel Ketegasan (Assertiveness) yaitu upaya memuaskan kepentingan diri sendiri. Limit terendah Ketegasan adalah Tidak Tegas, sementara limit tertingginya Tegas. Di sisi lain, limit terendah Kerjasama adalah Tidak Kerjasama, dan limit tertingginya Kerjasama.

Avoiding – Satu pihak menolak bahwa konflik itu ada, mengubah topik, dan menghindari diskusi-diskusi, seraya tidak memperlihatkan komitmen penyelesaian. Gaya ini efektif dalam situasi dimana terdapat bahaya penyerangan fisik, tanggapan atas isu remeh, tidak berpengaruh terhadap kesempatan untuk mencapai tujuan, atau rumitnya situasi yang membutuhkan solusi.[16]

Avoiding (penghindaran) konflik punya keuntungan dalam hal pemeliharaan hubungan, dalam mana hubungan diyakini akan terluka akibat proses penyelesaian konflik.[17] Kerugiannya gaya ini adalah konflik tidak akan selesai. Berlebihannya penggunaan gaya ini justru mendorong munculnya konflik internal dalam diri individu yang melakukannya. Orang lainpun cenderung meremehkan si penghindar. Penghindaran masalah biasanya bukan malah menyelesaikan masalah melainkan justru menambahnya. Semakin lama kita menunggu konfrontasi dengan orang lain, semakin sulit konfrontasi yang terjadi nantinya.

Accomodation – Satu pihak mengorbankan kepentingannya dan memperlihatkan concern dengan membiarkan pihak lain mencapai kepentingannya. Gaya ini efektif dalam situasi dimana tidak terdapat kesempatan yang banyak bagi seseorang dalam mencapai kepentingannya, tatkala hasilnya tidak penting, atau tatkala ada keyakinan bahwa memuaskan kepentingan dirinya akan mencederai hubungan.

Keuntungan gaya akomodasi adalah, hubungan terpelihara dengan melakukan sesuatu hal dengan cara yang bisa diterima orang lain. Kerugiannya adalah “penyerahan” pada orang lain malah kontraproduktif. Orang yang melakukan pengakomodasian mungkin punya solusi yang lebih baik. Berlebihannya penggunaan gaya ini cenderung memberi kesempatan orang lain mengambil keuntungan dari si akomodator. [18]

Compromising – Lewat konsesi seluruh pihak, tiap pihak siap hanya mendapat setengah dari total kepentingannya. Gaya ini efektif dalam situasi yang membutuhkan penyelesaian cepat seputar masalah, tatkala pihak lain menolak berkolaborasi (kerjasama), tatkala pencapaian sasaran secara mutlak tidak penting, atau tatkala tidak ada yang perlu dikhawatirkan apakah kepentingan tercapai seluruhnya atau sebagiannya saja.

Keuntungan gaya ini adalah, konflik diselesaikan secara relatif cepat dan hubungan kerja tetap terpelihara. Kerugiannya adalah, si kompromis kerap menghasilkan hasil yang kontraproduktif, seperti keputusan yang tidak optimal. Berlebihannya penggunaan gaya ini membuat orang kerap bertanya dua kali dalam rangka memenuhi kepentingannya. Gaya ini biasa digunakan dalam hubungan manajemen-buruh.[19]

Forcing – Gaya ini dicirikan agresivitas, berfokus diri sendiri, adanya pemaksaan, ketegasan lisan, dan perilaku tidak kooperatif guna mencapai tujuan yang ditampakan oleh satu pihak dengan mengalahkan kepentingan pihak lain. Gaya ini efektif dalam situasi dimana keputusan harus dibuat secara cepat, pilihan terbatas, tidak khawatir pihak lain menjadi korban, pihak lain menolak kerjasama, dan tidak ada perhatian memadai atas kerusakan potensial dalam hubungan.

Keuntungan gaya Forcing adalah keputusan organisasi yang lebih baik akan terjadi, kala si pemaksa benar, ketimbang keputusan yang kompromistik yang kurang efektif. Kerugiannya dari penggunaan gaya forcing yang berlebihan mendorong permusuhan dan perlawanan terhadap si pengguna. Pemaksa cenderung punya hubungan buruk dengan pihak lain. [20]

Collaborating – Gaya ini dicirikan lewat pendengar aktif dan fokus pada isu, komunikasi empatik yang mencari pemuasan kepentingan dan perhatian setiap pihak. Gaya ini efektif dalam situasi dimana kekuasaan secara relatif berimbang, hubungan jangka panjang dihargai, tiap pihak menampakkan perilaku kooperatif, dan terdapat cukup waktu dan energi guna membuat solusi integratif yang memuaskan semua pihak.

Keuntungan gaya ini adalah kecenderungannya membawa pada solusi terbaik dari konflik, menggunakan perilaku yang tegas. Kerugiannya adalah, keahlian, upaya, dan waktu dibutuhkan guna menyelesaikan konflik adalah lebih besar dan lebih lama tinimbang gaya lainnya. [21]

Kapan situasi terbaik untuk menerapkan masing-masing gaya manajemen konflik? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah kami muat bagan dari John Hayes berikut:[22]

Tabel 21 Situasi Konflik dan Gaya yang Cocok Menanganinya versi Hayes

Cara Penanganan Konflik
Situasi yang Cocok
Forcing
  1. Kala tindakan yang tegas dan cepat adalah vital – darurat.
  2. Pada isu penting dimana tindakan tidak populer butuh untuk diterapkan – pemangkasan anggaran, menerapkan aturan yang tidak populer.
  3. Pada isu vital demi kesejahteraan perusahaan dan si pelaku benar.
  4. Melawan orang yang ambil keuntungan lewat cara tidak kompetitif.
Collaborating
  1. Guna menemukan solusi integratif kala kedua kepentingan terlalu penting untuk dikompromikan.
  2. Kala tujuan kita untuk belajar.
  3. Melebuh pandangan dari orang dari aneka sudut pandang.
  4. Beroleh komitmen lewat inkorporasi kepentingan ke dalam kesepakatan.
Compromising
  1. Kala tujuan adalah penting, tetapi tidak mementingkan cara yang terlalu tegas.
  2. Kala musuh dengan kekuasaan setara berkomitmen pada sasarannya sendiri-sendiri.
  3. Mencapai penyelesaian sementara atas isu-isu yang rumit.
  4. Mendatangkan solusi cerdik dalam tekanan waktu.
  5. Sebagai cadangan kala collaborating dan forcing tidak berhasil.
Avoiding
  1. Kala isu sepele, atau isu penting lain menunggu untuk diselesaikan.
  2. Kala anda menganggap tiada kesempatan memuaskan kepentingan sendiri.
  3. Kala efek merusak lebih tinggi dari resolusi yang mungkin dihasilkan.
  4. Mengizinkan orang untuk cooling down dan beroleh kembali cara pandang.
  5. Kala pengumpulan informasi lebih penting tinimbang memutuskan segera.
  6. Kala orang lain bisa menyelesaikan konflik lebih efektif.
  7. Kala isu sekadar persinggungan atau simptom dari isu lain. 
Accomodating
  1. Kala kamu temukan diri kamu salah – mengizinkan posisi yang lebih baik untuk didengar, dipelajari, dan menunjukkan alasan kamu.
  2. Kala isu lebih penting bagi orang lain tinimbang diri kamu sendiri – memuaskan orang dan memelihara kerjasama.
  3. Membangun kredit sosial untuk digunakan nantinya.
  4. Meminimalkan kehilangan kala kita sedang tidak fokus.
  5. Kala harmoni dan stabilitas lebih penting.
  6. Mengizinkan bawahan mengembangkan pemelajaran dari kesalahan.
Pengertian STREES

Adalah tekanan fisik dan psikologis yg dirasakan seseorang ketika menghadapi hambatan, tuntutan atau peluang yg luar biasa dimana hasilnya dianggap tidak pasti dan penting

  • Sumber Stress
  • Individu
  1. Keluarga
  2. Ekonomi
  3. Persepsi; dll
  • Lingkungan
  1. Politik
  2. Ekonomi
  3. Teknologi; dll
  • Organisasi
  1. Tugas
  2. Sarana
  3. kepemimpinan

Dampak Stress
  • STRESS
  1. Sakit kepala
  2. Tekanan darah tinggi
  3. Sakit hati
  4. Depresi
  5. Gelisah
  6. Selalu tidak puas
  7. Produktivitas rendah
  8. Sering absen
  9. keluar

Mengelola Stress
  1. Pendekatan individu
  2. Pengelolaan waktu, relaksasi, sosialisasi
  3. Pendekatan organisasi
  4. Penempatan yang sesuai
  5. Merancang ulang pekerjaan
  6. Melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan
  7. Komunikasi yg efektif
  8. Memperbaiki program kesejahteraan bg karyawan
SUMBER :
Bibliography: LinLin Antebellum, (2012). Stress Kerja dan Konflik. [online] Available at: https://linlindaantebellum.wordpress.com/matkul-smstr-3/pdb/resume13/ [Accessed 20 Jan. 2015].
Bibliography: Setabasri01.blogspot.com, (2015). Manajemen Konflik dalam Organisasi | Seta Basri Menulis Terus. [online] Available at: http://setabasri01.blogspot.com/2011/01/konflik-dalam-organisasi.html [Accessed 20 Jan. 2015].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar